Jumat, 02 November 2018

Optimasi Pembenihan Ikan Papuyu Untuk Meningkatkan Produktivitas di Lahan Gambut

Tim penyusun: Khairul AnwarTulus, Webby, Andri Haryadi, Akhmad Riva’i
Abstrak
Kalimantan merupakan daerah yang cukup potensial dan dapat berperan dalam peningkatan produksi perikanan di Indonesia mengingat masih banyak
lahan-lahan marginal yang belum termanfaatkan seperti lahan gambut dan lahan bekas pertambangan. Permasalahan di lahan gambut dan lahan bekas
pertambangan umumnya adalah pH air yang rendah yang kurang mendukung untuk kehidupan ikan-ikan air tawar. Melalui sentuhan teknologi, lahan ini
sebenarnya dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya perikanan, dan hal ini telah dibuktikan oleh Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin dengan kegiatan
budidaya perikanan di Instalasi Budidaya Lahan Gambut di Kabupaten Pulang Pisau Propinsi Kalimantan Tengah.
Kegiatan ini bertujuan untuk memanfaatkan lahan marginal (gambut) sebagai lahan budidaya serta mengaplikasikan teknik pembenihan ikan papuyu sesuai
karakteristik di air asam, murah, mudah dan sederhana.
Induk ikan papuyu yang dipelihara menunjukkan perkembangan sistem reproduksi yang baik meski dipelihara pada kondisi air asam di lahan gambut. Umumnya
induk ikan papuyu mengalami perkembangan kematangan gonad sehingga aplikasi pembenihan sebagaimana halnya yang dilakukan pada kondisi air normal juga
bisa diterapkan. Dari tiga kali pemijahan yang dilaksanakan, menghasilkan benih umur 30 hari ukuran 1-2 cm sebanyak 2.894 ekor dan ukuran 3-5 cm
sebanyak 510 ekor.
Kata kunci : Ikan papuyu, lahan gambut, produktivitas.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kalimantan merupakan daerah yang cukup potensial dan dapat berperan dalam peningkatan produksi perikanan di Indonesia mengingat masih banyak
lahan-lahan marginal yang belum termanfaatkan seperti lahan gambut dan lahan bekas pertambangan. Permasalahan di lahan gambut dan lahan bekas
pertambangan umumnya adalah pH air yang rendah sehingga kurang mendukung untuk kehidupan ikan-ikan air tawar.
Lahan gambut merupakan salah satu jenis lahan basah yang memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem. Tidak hanya berfungsi sebagai habitat bagi
kehidupan berbagai mahluk hidup, namun juga memiliki berbagai fungsi ekologis sebagai penyimpan air dan penyimpan karbon yang efektif. Tanah gambut
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah
gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah
mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.
Melalui sentuhan teknologi, lahan ini sebenarnya dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya perikanan, dan hal ini telah dibuktikan oleh Balai Budidaya
Air Tawar Mandiangin dengan kegiatan budidaya perikanan di Instalasi Budidaya Lahan Gambut di Kabupaten Pulang Pisau Propinsi Kalimantan Tengah.
Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya turut berperan dalam
mewujudkan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu menjadikan Indonesia sebagai produsen hasil perikanan terbesar di dunia. Sejalan dengan hal
itu maka kapasitas produksi dan penerapan teknologi perlu ditingkatkan dalam kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Salah satu ikan spesifik lokal Kalimantan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di lahan gambut adalah ikan papuyu (Anabas testudineus 
Bloch). Budidaya ikan papuyu telah dikembangkan dan diminati pembudidaya ikan tak hanya di Kalimantan Selatan tetapi juga di beberapa daerah lainnya.
Harga ikan papuyu konsumsi berkisar Rp. 25.000 – Rp. 60.000 per kilogram. Dampak dari harga yang cukup ekonomis ini dan semakin meningkatnya permintaan
pasar memacu masyarakat untuk membudidayakannya mulai dari skala rumah tangga hingga massal.
1.2. Tujuan dan Sasaran
1.2.1. Tujuan
1.Memanfatkan lahan marginal (gambut) untuk budidaya ikan air tawar.
2.Aplikasi teknik pembenihan ikan papuyu sesuai karakteristik di air asam, murah, mudah dan sederhana.
1.2.2. Sasaran
1.Tersedianya benih untuk kegiatan budidaya di lahan gambut.
2.Pelestarian plasma nuftah
II. BAHAN DAN METODE
2.1. Alat, Dan Bahan
§ Alat : serok, alat pengukur kualitas air, penggaris, timbangan, baskom plastik, hapa,
§ Bahan-bahan : induk ikan papuyu, pakan ikan komersil (pellet), pupuk kandang dan kapur.
2.2. Metode
2.2.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan dilaksanakan bulan Januari – Juli 2012 di Instalasi Budidaya Ikan Lahan Gambut BBAT Mandiangin di Desa Garung, Kecamatan Jabiren Raya,
Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah.
2.2.2. Tahapan Kegiatan
1. Pemeliharaan Induk
• Tempat : hapa di kolam
• Pakan : pelet apung, dosis 3 % berat biomassa/hari, frekuensi 1 kali sehari
• Pengelolaan kualitas air : Pengapuran, pengukuran kualitas air
• Pengamatan TKG : Pengamatan kematangan gonad 1 kali/bulan
2. Seleksi induk matang gonad
· Seleksi → Tangkap induk satu persatu
· Induk jantan → Keluar cairan putih susu bila diurut pada alat kelamin
· Induk betina → Kelamin kemerahan, perut lembek membesar ke arah anus
3. Pemijahan
· Penyuntikan secara intramuscular
· Dosis hormon ovaprim 0,05 cc / 100 g induk
· Perbandingan : jantan 3 : betina 1
4. Penetasan Telur
• Inkubasi telur selama 20 – 24 jam
• Derajat penetasan > 95 %
• Cadangan makanan larva berupa kuning telur selama 2 – 3 hari
• Masa kritis larva umur 3 – 5 hari
5. Persiapan Kolam Pendederan
• Penyedotan air dan lumpur
• Pengapuran dosis 500 g/m²
• Pemupukan dosis 500 g/m² (dalam kantong)
• Pemasangan hapa
6. Pendederan dan pemanenan
· Penebaran larva umur 3-5 hari.
· Masa pendederan s.d umur 30 hari
· Dosis pakan 5 – 10 % per bobot biomassa
· Panen dilakukan secara serentak / bertahap
2.2.3. Parameter yang diamati :
a. Kematangan gonad
b.Fekunditas dan derajat penetasan
c. Sintasan
d.Kualitas air (pH, suhu, oksigen terlarut dan amoniak)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kematangan Gonad
Jumlah induk papuyu yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini sebanyak 70 ekor, terdiri jantan sebanyak 50 ekor dengan kisaran berat 45 – 60 gram
per ekor dan betina 20 ekor dengan kisaran berat 80 – 130 gram per ekor. Dalam kegiatan budidaya, keberhasilan suatu spesies ikan ditentukan oleh
kemampuan ikan tersebut untuk bereproduksi dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan kemampuan untuk mempertahankan populasinya. Setiap spesies
ikan mempunyai strategi reproduksi tersendiri sehingga dapat melakukan reproduksinya dengan sukses.
Fungsi reproduksi pada ikan pada dasarnya merupakan bagian dari sistem reproduksi. Sistem reproduksi terdiri dari komponen kelenjar kelamin atau gonad,
dimana pada ikan betina disebut ovarium sedang pada jantan disebut testis beserta salurannya (Hoar & Randall, 1983).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi reproduksi pada spesies ikan terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
meliputi curah hujan, suhu, sinar matahari, tumbuhan dan adanya ikan jantan. Pada umumnya ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal musim
hujan atau pada akhir musim hujan, karena pada saat itu akan terjadi suatu perubahan lingkungan atau kondisi perairan yang dapat merangsang ikan-ikan
untuk berpijah. Faktor internal meliputi kondisi tubuh dan adanya hormone reproduksi Adapun faktor internal yaitu tersedianya hormon steroid dan
gonadotropin baik dalam bentuk hormone Gonadotropin I (GtH I) dan Gonadotropin II (GtH II) dalam jumlah yang cukup dalam tubuh untuk memacu kematangan
gonad diikuti ovulasi serta pemijahan. Sebaliknya bilamana salah satu atau kedua hormon; tersebut tidak mencukupi dalam tubuh maka perkembangan oosit
dalam ovarium terganggu bahkan akan berhenti dan mengalami atresia.
Pengamatan perkembangan gonad induk papuyu setiap bulannya menunjukkan hasil yang cukup baik meski dipelihara pada kondisi air asam. Selama periode
pemeliharaan induk dari Januari – Juli 2012 didapatkan induk dengan berbagai tingkat kematangan gonad.
Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan cara morfologi adalah bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi
gonad yang dapat dilihat. Penilaian mengacu pada Begenel & Braum (1968) dalam Effendie (1997) yang membagi tingkat kematangan gonad dalam
beberapa tahap yaitu:
a. Dara. Organ seksual sangat kecil berdekatan di bawah tulang punggung, testes dan ovarium transparan, dari tidak berwarna sampai abu-abu.
Telur tidak terlihat dengan mata biasa.
b. Dara Berkembang. Testis dan ovarium jernih, abu-abu merah. Panjangnya setengah atau lebih sedikit dari panjang rongga bawah. Telur satu
persatu dapat terlihat dengan kaca pembesar.
c. Perkembangan I. Testis dan ovarium bentuknya bulat telur, berwarna kemerah-merahan dengan pembuluh kapiler. Gonad mengisi kira-kira
setengah ruang ke bagian bawah. Telur dapat terlihat seperti serbuk putih.
d. Perkembangan II. Testis berwarna putih kemerah-merahan, tidak ada sperma kalau bagian perut ditekan. Ovarium berwarna oranye
kemerah-merahan. Telur dapat dibedakan dengan jelas, bentuknya bulat telur. Ovarium mengisis kira-kira dua pertiga ruang bawah.
e. Bunting. Organ seksual mengisi ruang bawah. Testis berwarna putih, keluar tetesan sperma kalau ditekan perutnya. Telur bentuknya bulat,
beberapa dari telur ini jernih dan masak.
f. Mijah. Telur dan sperma keluar dengan sedikit tekanan di perut. Kebanyakan telur berwarna jernih dengan beberapa yang berbentuk bulat telur
tinggal dalam ovarium.
g. Mijah/Salin. Gonad belum kosong sama sekali, tidak ada telur yang bulat telur.
h. Salin. Testis dan ovarium kosong dan berwarna merah. Beberapa telur sedang ada dalam keadaan dihisap kembali.
i. Pulih Salin. Testis dan ovarium berwarna jernih, abu-abu merah.
Hasil pengamatan perkembangan gonad induk ikan papuyu disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan perkembangan gonad induk papuyu
Induk
Bulan Sampling
Keterangan
Maret
(ekor)
April
(ekor)
Mei
(ekor)
Jantan
4
6
5
Maret : 4 ekor TKG mijah
April : 2 ekor TKG bunting, 4 ekor TKG mijah
Mei : 1 ekor TKG bunting, 4 ekor TKG mijah
Betina
2
3
3
Maret : 1ekor TKG bunting, 1 ekor TKG mijah.
April : 2 ekor TKG bunting, 1 ekor TKG mijah.
Mei : 1 ekor TKG bunting, 2 ekor TKG mijah
Pengamatan pada induk papuyu menunjukkan perkembangan gonad yang beragam, umumnya berada pada tahap dara sampai perkembangan II. Sedangkan pada tahap
bunting dan mijah hanya beberapa ekor terutama pada induk betina. Meski jumlah yang bisa dipijahkan relatif lebih sedikit, namun sudah menunjukkan
bahwa induk papuyu yang dipelihara pada lingkungan terkontrol gonadnya bida berkembang dan dapat bereproduksi.
3.2. Fekunditas dan Derajat Penetasan
Definisi fekunditas telah banyak dikemukakan. Namun, spesies-spesies ikan yang ada itu bermacam-macam dengan sifatnya masing-masing, maka beberapa
peneliti berdasarkan kepada definisi umum lebih mengembangkan lagi definisi fekunditas sehubungan dengan aspek-aspek yang ditelitinya. Misalnya
definisi yang diberikan untuk ikan salmon (Onchorynchus sp.), ikan ini selama hidupnya hanya satu kali memijah dan kemudian mati. Semua
telur-telur yang akan dikeluarkan pada waktu pemijahan itulah yang dimaksud dengan fekunditas. Interpretasi data fekunditas seringkali agak rumit yang
disebabkan adanya beberapa faktor antara lain a) hubungan antara fekunditas dan fertilitas, b) fekunditas dari ikan yang memijah beberapa kali,
c)fekunditas dari ikan vivipar dan “parental care“ atau pengasuhan oleh induk, d) hubungan antar fekunditas dan ukuran telur, e) hubungan antara
kepadatan populasi dan fekunditas, dan f) pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap fekunditas, g) tingkat kematangan gonad yang tidak seragam dari
populasi ikan termaksud, h) waktu pemijahan yang berbeda dan lain-lainnya.
Berdasarkan pengamatan dengan menghitung hubungan antara fekunditas dengan berat, didapatkan data disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Fekunditas individu dan derajat penetasan ikan papuyu
Pemijahan (bulan)
Fekunditas (butir)
Derajat Penetasan (ekor)
Maret
13.000
7.800
April
10.000
4.800
Mei
11.000
5.650
Fekunditas yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan induk papuyu yang selama ini dipelihara pada kondisi pH air normal. Bunasir et al (2003),
menyebutkan ikan papuyu memijah sepanjang musim penghujan dengan frekuensi 2-3 kali memijah dengan jumlah telur (fekunditas) antara 5.000 – 15.000
butir. Menurut Nikolsky (1963) dalam Effendi (1997) bahwa jumlah telur yang terdapat dalam ovarium ikan dinamakan fekunditas individu. Dalam hal ini ia
memperhitungkan telur yang ukurannya berlain-lainan. Oleh karena itu dalam memperhitungkannya harus diikutsertakan semua ukuran telur dan masing-masing
harus mendapatkan kesempatan yang sama. Bila ada telur yang jelas kelihatan ukurannya berlainan dalam daerah yang berlainan dengan perlakuan yang sama
harus dihitung terpisah. Selanjutnya dinyatakan bahwa fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan
dikeluarkan tahun itu pula. Dalam ovari biasanya ada dua macam ukuran telur, yang besar dan yang kecil. Telur yang besar akan dikeluarkan pada tahun
itu dan yang kecil akan dikeluarkan pada tahun berikutnya. Namun apabila kondisi baik, telur yang kecilpun akan dikeluarkan menyusul telur yang besar.
Sehubungan dengan hal ini maka perlu menentukan fekunditas ikan apabila ovari ikan itu sedang dalam tahap kematangan yang ke-IV dan yang paling baik
sesaat sebelum terjadi pemijahan.
Menurut Nikolsky (1963) dalam Effendie (1997), faktor cahaya dapat mempengaruhi masa pengeraman ikan. Telur yang sedang dalam masa pengeraman
apabila diletakkan dalam tempat yang gelap akan menetas lebih lambat. Faktor luar lainnya yang dapat mempengaruhi masa pengeraman ialah zat yang
terlarut dalam air terutama zat asam arang dan ammonia dapat menyebabkan kematian embrio dalam masa pengeraman. Tekanan zat asam dalam air telah
diketahui dapat mempengaruhi untur meristik yaitu jumlah ruas tulang belakang. Bila tekanan zat asam itu tinggi, jumlah ruas tulang belakang embrio
menjadi bertambah dan sebaliknya apabila tekanan zat asam arang berkurang jumlah ruas tulang belakang berkurang jumlahnya.
Menetas merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Pada saat akan terjadi penetasan
seperti yang telah dikemukakan, kekerasan chorion semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lainnya yang dikeluarkan
oleh kelenjar endodermal di daerah pharink. Enzim ini dinamakan chorionase yang terdiri dari pseudokeratin yang kerjanya bersifat mereduksi chorion
menjadi lembik. Dalam proses ini pH dan suhu memegang peranan. Menurut Blaxter dalam Effendie (1979) bahwa pH 7,9 – 9,6 dan suhu 14 – 20°C
merupakan kondisi yang optimum. Pada waktu akan terjadi penetasan, embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang di dalam cangkang. Dengan
pergerakan-pergerakan tersebut bagian cangkang telur yang telah lembik akan pecah. Umumnya, dua atau tiga kali pembetulan posisinya embrio mengatur
dirinya lagi. Pada bagian cangkang yang pecah ujung ekor embrio dikeluarkan terlebih dahulu sambil digerakkan. Kepalanya dikeluarkan terakhir karena
ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bagian tubuh yang lainnya, namun kadangkala didapatkan kepala yang keluar lebih dulu. Anak ikan yang baru
ditetaskan tersebut dinamakan larva, dengan tubuhnya yang belum sempurna baik organ luar maupun organ dalamnya. Sehubungan dengan perkembangan larva
ini, terdapat dua tahap perkembangan yaitu prolarva dan postlarvaProlarva biasanya masih mempunyai kantung kuning telur,
tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui. Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan
kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak punya sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang
belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah tidak sempurna. Makanannya didapatkan dari sisa
kuning telur yang belum habis dihisap. Adakalanya larva ikan yang baru ditetaskan letaknya dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya masih
mengandung minyak. Apabila kuning telur tersebut telah habis dihisap, larva akan kembali seperti biasa.
3.3. Sintasan
Sintasan ikan didefinisikan sebagai prosentasi jumlah ikan yang ditebar sampai panen yang masih hidup. Dalam kegiatan ini, telur yang telah menetas
menjadi larva selanjutnya dipelihara di hapa messize 1 mm yang ditempatkan di kolam. Sebelumnya pada hapa tersebut telah dilakukan pemupukan untuk
menumbuhkan plankton sebagai makanan larva. Pemeliharaan larva menjadi benih (pendederan) dilaksanakan selama 30 hari dengan hasil disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3. Data sintasan benih umur 30 hari
Periode Pemijahan
(bulan)
Sintasan Benih
(ekor)
1 – 2 cm
3 – 5 cm
Jumlah
Maret
1.350
150
1.500
April
746
110
856
Mei
798
250
1.048
Sintasan benih ikan papuyu yang dipelihara tergolong kecil karena kurang dari 50%. Rendahnya sintasan ikan papuyu yang dipelihara diduga salah satunya
karena penebaran ke hapa dilakukan saat larva baru berumur satu hari, sehingga secara fisiologis belum siap pada kondisi air yang berbeda. Selain itu
fluktuasi pH yang cenderung berubah-rubah diduga juga mempengaruhi sintasan benih tersebut.
3.4. Pengamatan Kualitas Air
Data tentang kualitas air pada media pemeliharaan induk disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Data kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan

No
Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
1
DO
mg/l
4,5 – 4,60
2
Suhu
o
C
26 – 32
3
pH
4 – 5,5
4
Amonia
mg/l
0,26 – 0,30
Kisaran kualitas air tersebut sebetulnya cukup menunjang sintasan dan pertumbuhan ikan papuyu. Namun perubahan kualitas air terutama pH secara mendadak
diduga dapat menyebabkan kematian pada ikan sehiungga relatif sulit dihindar.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budidaya ikan terutama ikan papuyu sangat prospektif untuk dilakukan, baik kegiatan pembenihan hingga
pembesaran. Teknologi yang digunakan juga cukup sederhana dan mudah untuk diaplikasikan.
2. Induk ikan papuyu yang dipelihara menunjukkan perkembangan sistem reproduksi yang baik meski dipelihara pada kondisi air asam di lahan gambut.
Umumnya induk ikan papuyu mengalami perkembangan kematangan gonad sehingga aplikasi pembenihan sebagaimana halnya yang dilakukan pada kondisi air
normal juga bisa diterapkan.
3. Dari tiga kali pemijahan yang dilaksanakan, menghasilkan benih umur 30 hari ukuran 1-2 cm sebanyak 2.894 ekor dan ukuran 3-5 cm sebanyak 510 ekor.
4.2. Saran
Pemeliharaan ikan papuyu di lahan gambut dari tahap penyiapan induk, pembenihan hingga pembesaran perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana ikan ini
dapat dikelola lebih efektif. Selain itu pengelolaan komunitas dan habitat ikan sebagai suatu strategi pengelolaan multispesies harus segera dilakukan.
Hal ini tidak hanya dapat meningkatkan produksi total ikan tetapi sekaligus dapat digunakan untuk pelestraian plasma nutfah ikan spesifik lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mudjiman, 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 190 Halaman
Bunasir, 2003. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Spesifik Lokal baung dan Papuyu. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal perikanan
Budidaya. Loka Budidaya Air Tawar Mandiangin Kalimantan Selatan.
Bunasir, 2004. Teknologi Pengembangan Budidaya Ikan Papuyu Skala Usaha. Makalah Pertemuan Teknis Lintas`UPT Pusat Ditjenkan Budidaya Tanggal 4-7
Oktober 2006 di Bandung.
Effendi, M.I, 1997. Biologi Perikanan. Study Natural Hisory Bagian I. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. 105 halaman.
Huet, M. 1975. Tex Books Of Fish Culture. Breeding and Cultivation of Fish. Fishing New. London. 463 halaman.
Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah : Mega Proyek Pemusnahan Sumber Daya Perikanan?. Makalah Falsafah Sains (Pps 702)
Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.
Kordi, K.M.G., 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan Pertama. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. 194 halaman.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate
Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Saanin, 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Cetakan ke 2. Bina Cipta. Bogor. 503 Halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar