Selasa, 23 Januari 2018

ASPEK KEUANGAN PRODUKSI DENDENG IKAN NILA SKALA UMKM




Pemilihan pola usaha
Dalam melakukan analisis keuangan untuk produk dendeng nila ini ada beberapa asumsi yang digunakan. Salah satunya adalah asumsi kapasitas produksi, dimana untuk usaha ini diasumsikan produsen dendeng nila berproduksi dua kali seminggu dan untuk sekali produksi menghasilkan 14 kilogram dendeng. Jadi untuk seminggu produsen menghasilkan 28 kilogram dendeng. Proses perhitungan harga pokok penjualan, laba rugi, dan kelayakan proyek dilakukan dengan memperhatikan asumsi dan parameter yang akan dijelaskan dalam subbab berikutnya.

Asumsi Parameter dan Perhitungan
            Periode proyek diasumsikan selama 3 tahun sehingga perhitungan komponen pendapatan dan biaya juga dilakukan selama 3 tahun. Dalam hal tempat produksi, usaha dendeng nila menyewa tanah kosong kemudian mendirikan bangunan dan membuat tempat jemur yang sifatnya semi permanen. Luas tanah sebesar 60 m2 dengan total luas bangunan sebesar 55 m2.
            Usaha ini juga memiliki beberapa peralatan produksi yang tergolong sederhana. Satu-satunya mesin yang digunakan dalam proses produksi adalah oven untuk mengeringkan daging bila tidak ada sinar matahari. Peralatan lain lebih banyak digunakan untuk membersihkan dan membumbui ikan. Terdapat juga plastik penjemur yang berfungsi sebagai alas saat mengeringkan dendeng.  
            Produksi dilakukan dua kali seminggu, dengan jumlah produksi dendeng tiap minggunya adalah 28 kilogram. Untuk setiap kilogram dendeng dibutuhkan 4 kilogram ikan nila segar dan 0.4 kg bumbu. Penggunaan bahan baku tentunya sudah memperhitungkan penyusutan yang terjadi saat produksi. Harga beli ikan nila segar di pasar ikan adalah Rp. 9000 per kg sementara harga jual dendeng nila adalah  Rp.78.000 per kgnya. Asumsi- asumsi lain yang dipakai dapat dilihat pada tabel 1 berikut .

Tabel 1
 Asumsi dan Parameter Analisis Keuangan

Asumsi
Satuan
Jumlah/Nilai
Periode Proyek
Tahun
3
Luas Tanah
M2
60
Luas Bangunan
M2
25
Luas Tempat Jemur
M2
30
Sewa lahan
Rp/tahun
4.500.000
Kendaraan (Sepeda Motor)
Unit
1
Harga Kendaraan
Rp/Unit
12.000.000
Mesin dan peralatan :


Oven
Unit
1
Baskom
Unit
10
Saringan
Unit
5
Pisau
Unit
10
Cobek/ulekan bumbu
Unit
3
Talenan
Unit
5
Plastik alas jemur
Unit
1
Produksi dan harga :


Produksi per tahun
Kg
1,456
Kenaikan produksi
% / tahun
5
Produksi per minggu
Kg
28
Jumlah minggu per tahun
Minggu
52
Harga jual
Rp/kg
78,000
Penyerapan tenaga kerja :


Tenaga kerja langsung
Orang
4
Tenaga kerja tidak langsung
Orang
1
Upah tenaga langsung
Rp/orang/bulan
500,000
Upah tenaga tidak langsung
Rp/orang/bulan
500,000
Penggunaan bahan baku :


Penggunaan ikan
Kg/kg dendeng
4
Penggunaan ikan 1 tahun
Kg
5,824
Penggunaan ikan 1 minggu
Kg
112
Bumbu-bumbu
kg/kg ikan
0.4
Garam
gr/kg ikan
4
Bawang putih
gr/kg ikan
61
Bawang merah
gr/kg ikan
52
Ketumbar
gr/kg ikan
121
Asam Jawa
gr/kg ikan
81
Laos
gr/kg ikan
81



Harga Bahan Baku :


Harga ikan nila segar
Rp/kg
9,000
Garam
Rp/kg
1,000
Bawang putih
Rp/kg
15,000
Bawang merah
Rp/kg
13,000
Ketumbar
Rp/kg
30,000
Asam jawa
Rp/kg
20,000
Laos
Rp/kg
20,000
Biaya Lainnya


Biaya Administrasi
Rp/thn
1,200,000
Biaya Sewa
Rp/thn
4,500,000
Biaya Penyusutan
Rp/thn
4,948.500
Biaya Overhead lain-lain
% dari penjualan
5
Cost of Capital


Tingkat Suku Bunga
%/thn
16%
Biaya Modal Sendiri
%/thn
18%
Bobot Utang terhadap Total Modal

0.7
Bobot Modal Sendiri terhadap Total Modal

0.3
Pajak
%/thn
15%
Tingkat Diskonto  (WACC)
 %/thn
14.9%


Komponen dan struktur biaya investasi dan biaya operasional

1    Biaya investasi
Biaya investasi terdiri dari biaya praoperasi dan biaya barang modal. Biaya praoperasi merupakan biaya yang sudah muncul sebelum usaha dimulai. Biaya ini terjadi di tahun 0, misalnya biaya pembangunan tempat usaha, biaya administrasi atau biaya perijinan. 

Biaya praoperasi untuk usaha dendeng nila dialokasikan paling besar untuk upah pekerja dalam pembuatan bangunan tempat usaha. Pembangunan tempat usaha diasumsikan memakan waktu selama 3 bulan karena bangunannya bersifat semi permanen. Biaya lain adalah biaya perijinan untuk melakukan kegiatan usaha yang dibayar sebulan sebelum usaha dimulai.  Namun biaya ini tidak dimasukkan dalam perhitungan kelayakan usaha karena biaya ini dianggap sebagai sunk cost.

            Biaya yang termasuk dalam komponen biaya investasi adalah biaya perijinan dan pembangunan. Selain itu biaya yang juga termasuk biaya investasi adalah biaya mesin, peralatan dan kendaraan. Sumber dana untuk memperoleh barang modal adalah 70% menggunakan pinjaman dan 30% menggunakan dana sendiri. Dana yang dibutuhkan pada tahun ke 0 adalah sejumlah Rp. 30.180.000. Dari total dana yang dibutuhkan sebagai biaya investasi maka Rp. 21.126.000 berasal dari pinjaman bank dan sisanya Rp. 9.054.000 berasal dari modal pengusaha sendiri. Dengan demikian modal awal yang diperlukan untuk memulai usaha ini tidaklah terlalu tinggi dan masih tergolong usaha kecil. 

Untuk perhitungan kebutuhan modal kerja per minggu diperlihatkan dalam tabel 5.5, dimana tiap minggunya usaha dendeng nila membutuhkan modal kerja sebesar Rp.147.597 per minggu.

            Kebutuhan modal kerja dendeng nila adalah persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, persediaan barang jadi dan biaya sewa tanah. Persediaan untuk bahan baku, barang setengah jadi, dan barang jadi diasumsikan untuk 1 minggu dengan asumsi satu minggu terdiri dari lima hari kerja. Sementara itu piutang dan utang usaha tercantum karena penjualan dan pembelian bahan baku bersifat kas. 

Biaya operasional
Biaya operasional terjadi sebagai akibat adanya kegiatan operasi usaha. Besarnya biaya operasional perusahaan tergantung dari jumlah produksi dendeng nila. Biaya operasional meliputi harga pokok penjualan dan biaya lainnya. Harga pokok penjualan terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan juga biaya overhead lain seperti biaya pengiriman. Sedangkan biaya operasional lainnya terdiri dari biaya administrasi dan umum, biaya sewa dan biaya penyusutan.
Harga pokok penjualan untuk dendeng nila diperlihatkan pada tabel 5.5. Harga pokok penjualan dendeng nila besarnya adalah berkisar antara 58  hingga 60  ribu per kilogramnya. Biaya terbesar berasal dari biaya pemakaian bahan baku dan juga biaya tenaga kerja langsung. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa untuk memproduksi satu kilogram dendeng nila dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp. 60.504 di tahun pertama dan kemudian menurun menjadi Rp.59.273 di tahun kedua dan Rp.58.195 pada tahun ketiga.

            Untuk komponen persediaan bahan baku pada usaha dendeng nila diasumsikan untuk 1 minggu atau lima hari kerja. Jadi besarnya persediaan akhir bahan baku adalah 5/360 dari pemakaian bahan baku pada tahun tersebut. Misalkan pada tahun pertama pemakaian bahan baku adalah 5824 kilogram, maka persediaan akhirnya adalah 5/360 dikali 5824. Hasil perhitungannya adalah 84 kilogram berarti nilai nominalnya dihitung dengan mengalikan persediaan akhir dengan harga bahan baku. Berarti nominal persediaan akhir adalah 84 dikali Rp.9.000 hasilnya adalah Rp.728.000. Besarnya persediaan akhir di suatu periode akan menjadi persediaan awal di periode berikutnya. Misalnya persediaan akhir di tahun pertama yaitu Rp. 728.000 akan menjadi persediaan awal di tahun kedua. Kemudian pemakaian bahan baku merupakan jumlah persediaan awal bahan baku dan pembelian bahan baku dikurangi dengan bahan baku yang menjadi persediaan akhir.
            Biaya factory overhead merupakan komponen biaya yang tidak terkait langsung dengan proses produksi. Biaya ini terdiri dari upah tak langsung dan biaya overhead lain-lain. Biaya overhead lain-lain dialokasikan sebesar 5% dari nilai penjualan tahun bersangkutan. Hasil penjumlahan pembelian bahan baku, upah langsung dan factory overhead disebut biaya pabrikasi.
            Untuk komponen persediaan barang dalam proses pada usaha dendeng nila diasumsikan untuk 5 hari. Jadi besarnya persediaan akhir barang dalam proses adalah 5/360 dari total biaya pabrikasi pada tahun tersebut. Misalkan pada tahun pertama total biaya pabrikasi adalah Rp.88.094.400, maka persediaan akhirnya adalah 5/360 dikali Rp.88.094.400 yaitu Rp. 1.223.533. Besarnya persediaan akhir di suatu periode akan menjadi persediaan awal di periode berikutnya. Misalnya persediaan akhir di tahun pertama yaitu Rp. 1.223.533 akan menjadi persediaan awal di tahun kedua. Total biaya produksi dihitung dari total biaya produksi ditambah dengan persediaan awal barang dalam proses kemudian dikurangi dengan persediaan akhir barang dalam proses.
            Persediaan akhir barang jadi diasumsikan selama 5 hari. Dalam tabel perhitungan persediaan jadi dalam suatu periode besarnya adalah 5/360 dari total produksi periode berikutnya kemudian dikalikan dengan harga pokok penjualan pada periode bersangkutan. Misalnya pada tahun pertama persediaan akhir barang jadi nilainya adalah 5/360 dikali Rp.88.094.400 Persediaan akhir barang barang jadi ini akan menjadi persediaan awal barang jadi pada periode berikutnya.
            Harga pokok penjualan dihitung dari total biaya produksi ditambah dengan persediaan awal barang jadi dikurangi dengan persediaan akhir barang jadi. Untuk mencari harga pokok per unit maka digunakan total harga pokok penjualan dibagi dengan jumlah unit yang diproduksi pada periode bersangkutan.
          
            Biaya administrasi dan umum besarnya dialokasikan Rp. 100.000 per bulan. Biaya ini merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan administrasi misalnya biaya telepon untuk pemesanan dan alat tulis kantor. Biaya sewa merupakan biaya sewa tanah tempat usaha, sedangkan biaya penyusutan merupakan biaya penyusutan aset-aset seperti bangunan, mesin dan peralatan, serta kendaraan. 

Kebutuhan dana untuk investasi dan modal kerja
Dalam perhitungan kelayakan proyek ini diasumsikan kebutuhan dana investasi untuk pengadaan barang modal 30% berasal dari modal sendiri dan 70 % sisanya berasal dari pinjaman bank dengan bunga yang berlaku di tahun 2008 yaitu 16%. Sedangkan untuk kebutuhan modal kerja, diasumsikan 30% berasal dari modal sendiri dan 70 % sisanya berasal dari pinjaman bank.

Jangka waktu kredit investasi dan kredit modal kerja lamanya adalah 3 tahun dengan tingkat suku bunga sebesar 16% per tahun. Sistem perhitungan bunga efektif menurun dimana pada akhir tahun ke 3 cicilan pokok yang harus dibayar jumlahnya Rp. 0. Perhitungan pengembalian pinjaman kredit investasi ditunjukkan pada tabel 5.8. Untuk memulai usaha dendeng nila, pengusaha, membutuhkan dana untuk investasi sebesar Rp. 29.430.000. Dana yang dimiliki pengusaha hanya Rp.8.829.000 berarti sisanya dari bank.

Kebutuhan modal kerja untuk dendeng nila jumlahnya meningkat dari tahun pertama hingga tahun ketiga. Sumber pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja adalah 30% dari modal sendiri dan 70% dari pinjaman bank. Misalkan tahun pertama kebutuhan dendeng nila besarnya adalah Rp. 7.675.067, maka akan dipenuhi dari modal sendiri sebesar Rp. 2.302.520 dan sisanya yaitu Rp. 5.372.547 berasal dari pinjaman bank.

           
Produksi dan pendapatan
Dalam satu kali produksi, produsen bisa menghasilkan 14 kilogram dendeng nila. Produksi dilakukan dua kali dalam seminggu, berarti dalam setahun ada 104 kali produksi dengan asumsi 1 tahun terdapat 52 minggu. Jadi dalam setahun jumlah produksi dendeng nila adalah sebesar 1.456 kilogram. Dendeng nila dijual pada harga 78.000 rupiah per kilogramnya. Harga ini merupakan harga yang berlaku untuk konsumen akhir. Kemudian pada tahun kedua dan tahun ketiga diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 5% dari produksi tahun sebelumnya seiring dengan mulai meningkatnya permintaan akan produk dendeng nila. Meningkatnya permintaan akan dendeng nila secara perlahan-lahan yaitu 5% per tahun dikarenakan masyarakat mulai mengenal produk dendeng nila. Tabel 5.10 memperlihatkan pada tahun pertama pengusaha dapat memproduksi dendeng nila senilai Rp.113.568.000, meningkat terus hingga di tahun ketiga mencapai angka Rp.134.152.200.

          
Proyeksi laba rugi dan break even point
Dari perhitungan laba rugi di tabel 5.13 terlihat bahwa pada tahun pertama sudah menghasilkan keuntungan, yaitu sebesar Rp. 9.682.532.  Usaha dendeng nila kemudian menunjukkan peningkatan laba pada tahun kedua dan terus meningkat dari angka Rp.13.453.699 di tahun kedua menjadi Rp. 17.351.291  di tahun ketiga. Komponen biaya terbesar tentunya adalah biaya operasional yaitu sekitar 77% dari penjualannya. Tarif pajak ditentukan 15% dari laba sebelum pajak. Laba bersih didapat setelah mengurangkan seluruh biaya baik harga pokok penjualan, biaya operasional, biaya bunga dan pajak dari total penjualan.

Proyeksi arus kas dan kelayakan proyek
            Penilaian terhadap suatu usaha dapat dilakukan dengan baik apabila arus kas dari usaha tersebut diketahui dengan jelas. Arus kas tersebut terdiri dari 2 jenis, yaitu arus kas masuk dan arus kas keluar. Perhitungan arus kas akan dijelaskan pada tabel 5.15. Dalam analisa arus kas dan kelayakan usaha dendeng nila ini digunakan beberapa metode penilaian kelayakan keuangan antara lain Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net B/C Ratio.
            NPV digunakan untuk menghitung nilai sekarang dari pendapatan yang diproyeksikan pada discount rate tertentu. NPV ini adalah selisih antara present value benefit dan present value cost. Apabila NPV>0, maka investasi pada proyek dapat diterima dan usaha layak dilaksanakan.
                  Metode penilaian investasi lain yang digunakan adalah Internal Rate of Return (IRR). IRR merupakan discount rate yang membuat NPV=0. Suatu proyek dikatakan layak apabila IRRnya lebih besar daripada tingkat imbal hasil yang disyaratkan, dalam perhitungan ini adalah 14.90%. Angka ini merupakan rata-rata tertimbang dari biaya modal (weighted average cost of capital). Cara perhitungannya adalah dengan menjumlahkan hasil kali biaya ekuitas dengan bobot ekuitas dan biaya utang dengan bobot utang setelah pajak. Dalam usaha dendeng nila bobot ekuitas 30% dan bobot penggunaan utangnya adalah 70%. Biaya ekuitas adalalah 18% dan biaya utang adalah 16% dengan tingkat pajak 10%. Apabila IRR yang dihasilkan lebih rendah dari tingkat imbal hasil yang disyaratkan, maka usulan usaha harus ditolak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa IRR usaha dendeng nila adalah 35.77 % jauh diatas tingkat imbal hasil yang disyaratkan. Berarti usaha dendeng nila ini layak untuk dijalankan.

            Metode ketiga adalah metode Net B/C ratio. Net B/C ratio merupakan perbandingan antara manfaat benefit bersih (B) dari tahun-tahun yang bersangkutan yang telah dipresent valuekan dengan baiya bersih (C) yang telah di nilai sekarangkan. Suatu proyek diterima jika B/C Ratio > 1 sebaliknya jika B/C Ratio < 1 maka proyek dianggap tidak layak. Usaha dendeng nila memiliki B/C Ratio sebesar 1.42 kali dan artinya memenuhi kriteria layak dijalankan.  

Analisis sensitivitas kelayakan usaha
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai tingkat mana pergerakan faktor-faktor sentivitas dapat ditolerir sehingga membuat usaha masih layak dijalankan. Untuk usaha dendeng nila faktor yang diperhitungkan dalam analisa sensitivitas adalah antisipasi kenaikan investasi barang modal, harga bahan baku, harga jual, dan kenaikan harga jual.
 Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa untuk usaha dendeng nila, agar tetap layak dijalankan maka antisipasi kenaikan investasi barang modalnya tidak boleh lebih dari 70 %, sedangkan harga bahan bakunya yaitu ikan nila tidak boleh lebih dari Rp. 10.293 per kilogramnya. Selain itu agar usaha tetap layak maka harga jual tidak boleh lebih rendah dari Rp. 72.548. Berarti agar NPV paling tidak sama dengan 0 maka investasi barang modalnya tidak boleh lebih dari 70 %, harga bahan bakunya tidak boleh lebih dari Rp. 10.293 per kilogramnya, dan harga jual tidak boleh lebih rendah dari Rp. 72.548. Perlu diperhatikan bahwa analisis sensitivitas ini menggunakan asumsi cateris paribus, jadi ketika satu faktor berubah faktor sensitivitas lain tetap sama. Misalkan jika harga bahan baku meningkat maka pada analisa sensitivitas diasumsikan bahwa harga jual dan antisipasi kenaikan investasi barang modal nilainya tidak berubah.  Dari hasil perhitungan tersebut memperlihatkan dendeng nila merupakan jenis usaha yang cukup sensitif.

Sumber:


BPUMKM, 2008. Dendeng Ikan Nila. Biro Pengembangan UMKM, Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar